Terdakwa Tidak Bisa Diminta Pertanggungjawaban Secara Hukum Pidana

Saksi Ahli Pidana pada Sidang Hibah Eddy Syofian :

Terdakwa Tidak Bisa Diminta Pertanggungjawaban Secara Hukum Pidana
 
 
Medan, (Mimbar) - Jika semua TUPOKSI atas kewenangan terdakwa telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan dikemudian hari muncul indikasi tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara, maka Terdakwa tidak bisa diminta pertanggungjawaban secara hukum pidana.

Ahli hukum pidana Dr Mahmud Mulyadi SH MHum mengemukakan itu menjawab wartawan, Jumat (6/5) sehubungan resume beliau selaku ahli hukum pidana pada sidang di Pengadilan Tipikor Medan, Rabu (4/5) dengan terdakwa Drs H Eddy Syofian MAP atas perkara penyaluran hibah di Badan Kesbangpol dan Linmas Provsu dengan Ketua Majelis Hakim DR Marsudin Nainggolan.

Sebagaimana dipaparkannya pada sidang itu, Mahmud Mulyadi menjelaskan tentunya harus dicari pada proses atau pentahapan yang mana (tempus delicti)  dan letaknya (locus delicti) timbulnya dugaan kerugian negara pada kasus ini, sehingga bisa diletakkan asas keadilan untuk meminta pertanggungjawaban pidana pada orang yang tepat.

Pada kasus ini, lanjutnya dakwaan primer menyatakan terdakwa telah melakukan perbuatan melawan hukum atas Pasal 2 UU PTPK, yaitu “Sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan, secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

Perbuatan Terdakwa bersama-sama dengan Gatot Pujo Nugroho, telah diduga memperkaya diri sendiri atau setidak-tidaknya memperkaya Gatot Pujo Nugroho sebagai Gubernur Sumatera Utara atau penerima bantuan dana hibah dan bansos sebanyak 18 lembaga yang diduga   merupakan perbuatan melawan hukum.

Sesuai dengan sifat Perbuatan melawan Hukum, yaitu melawan hukum formil, maka yang pertama sekali perlu dibuktikan adalah apakah perbuatan Terdakwa telah melawan peraturan perundang-undangan secara tertulis. Hal ini karena menurut SR. Sianturi bahwa para penganut ajaran ”sifat melawan hukum formil” menyatakan bahwa pada setiap pelanggaran delik, maka sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum. Dengan demikian bila suatu delik tidak tegas menyatakan bersifat melawan hukum sebagai unsur delik, maka sifat melawan hukumnya tidak perlu dibuktikan dan cukup membuktikan unsur-unsur yang tercantum di dalam pasal tersebut.

“Sedangkan pencantuman sifat melawan hukum secara tegas dalam suatu delik, maka sifat melawan hukumnya harus dibuktikan terlebih dahulu, barulah seseorang dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana,” ujarnya.

Pasal 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara tegas mencantumkan sifat melawan hukum dalam deliknya, yaitu dari kata-kata "melakukan perbuatan melawan hukum." Oleh karena itu perlu diuji apakah perbuatan Terdakwa telah melanggar peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur Jenis dan Hierarki peraturan perundang-undangan menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang Undangan.

Mulyadi juga memaparkan untuk menyatakan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum, maka tidak boleh seseorang tersebut dikatakan “melanggar asas”. Hal ini karena melawan hukum dalam hukum pidana adalah melawan hukum positif.

Mulyadi juga memaparkan apakah Peraturan Gubernur  termasuk atau tidak termasuk dalam Hirarki Peraturan Perundang-undangan. Artinya tidak boleh dikatakan melawan hukum bila tidak bertentangan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu perlu pendapat Ahli Hukum Adminstrasi Negara untuk memperjelas status Peraturan Gubernur   Sumatera Utara tersebut.

Dalam perkara ini, Terdakwa juga didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum “Sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena kedudukan atau jabatan,  yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pengertian “penyalahgunaan wewenang”  dalam hukum pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi tidak memiliki pengertian yang eksplisitas sifatnya. Oleh karena itu dipergunakan pendekatan ekstensif berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh Prof. Mr. H.A. Demeersemen tentang kajian “Otonomi dari Hukum Pidana Materiil” (De Autonomie van het materiele strafrecht);

Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji menyatakan bahwa pola dasar penilaian mengenai ada atau tidaknya penyalahgunaan kewenangan dilihat dari bahwa KEWENANGAN UNTUK MENGELUARKAN SUATU KEPUTUSAN ITU DIBERIKAN DENGAN MAKSUD DAN TUJUAN TERTENTU YANG DIBUKTIKAN DARI PENGATURAN TENTANG KEWENANGANNYA ITU SENDIRI ATAU DARI PERATURAN DASAR YANG BERKAITAN DENGAN KEWENANGAN TERSEBUT.

Mulyadi juga memaparkan pada perkara ini perlu dibuktikan apakah terdakwa telah melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai wujud kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Ukuran telah dilaksanakan atau tidaknya kewenangan si terdakwa ini harus diukur melalui Ahli Hukum Adminstrasi negara, karena domain peristiwa yang diduga “penyalahgunaan kewenangan” oleh Terdakwa, berada di wilayah kajian Hukum Administrasi Negara. Perlu ditentukan oleh Ahli Hukum Admintrasi, apakah ini berupa kebijakan atau bukan. Hal ini perlu untuk menentukan apakah kebijakan ini berupa delegasi, mandatori atau atribusi. Ketiga hal di atas akan mempengaruhi untuk menentukan siapa yang layak untuk bertanggungjawab dari sisi hukum pidananya.

Dikemukakan juga Terdakwa pada kasus ini juga didakwa dengan Pasal 55 KUHP, Sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan.  Syarat yang diperlukan agar dapat dikatakan telah terjadi suatu turut serta (medeplegen) adalah harus ada kesadaran kerja sama dari setiap peserta. Dalam ikut serta, para peserta menyadari akan dilakukannya suatu tindak pidana. Mereka sadar bahwa mereka bersama-sama akan melakukan tindak pidana. Dalam membentuk kesadaran kerja sama itu tidak tidak harus jauh sebelum dilakukannya tindak pidana, jadi tidak perlu ada sebelumnya suatu perundingan untuk merencanakan tindak pidana. Kesadaran kerja sama diantara para peserta dapat terjadi pada saat terjadinya peristiwa.

Kerja sama dalam tindak pidana harus secara phisik. Semua peserta dalam ikut serta harus bersama-sama secara phisik melakukan tindak pidana itu. Namun tidak perlu semua peserta memenuhi secara persis seperti apa yang termuat sebagai unsur tindak pidana.

Oleh karena itu pada kasus ini, perlu dibuktikan secara valid adanya kerjasama antara Terdakwa dengan Gatot Pujo Nugroho dalam dugaan melakukan perbuatan pidana dengan melihat syarat-syarat penyertaan di atas.

Jika semua TUPOKSI atas kewenangan Terdakwa telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan dikemudian hari muncul indikasi tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara, maka Terdakwa tidak bisa diminta pertanggungjawaban secara hukum pidana. Tentunya harus dicari pada proses atau pentahapan yang mana (tempus delicti)  dan letaknya (locus delicti) timbulnya dugaan kerugian negara pada kasus ini, sehingga bisa diletakkan asas keadilan untuk meminta pertanggungjawaban pidana pada orang yang tepat.

Comments

Popular posts from this blog

Bagian Proyek Jalan Rp 2,7 T di Paluta dan Palas Start Bulan Ini

EDY RAHMAYADI MINTA MAAF SOAL PERNYATAAN MAJU LAGI PILGUBSU

Hendri CH Bangun Terpilih Jadi Ketua Umum PWI Periode 2023-2028 di Kongres XXV di Bandung