Mengenang 70 Revolusi Sosial Sumatera Timur


Mengenang 70 Revolusi Sosial Sumatera Timur

Plt Gubernur Sumut : Jadikan Tragedi Itu Pelajaran Berharga Agar Melayu Tidak Lagi Terpecah Belah

Medan, (Mimbar) - Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Ir H Tengku Erry Nuradi MSi mengajak seluruh masyarakat, terutama puak Melayu mengambil hikmah di balik Revolusi Sosial yang tragis pada tahun 1946. Pembantain terhadap Kesultanan dan kerabatnya pada masa itu layak menjadi pelajaran berharga agar Melayu tidak lagi terpecah belah.

Imbauan tersebut dikumandangkan Tengku Erry Nuradi dalam acara Peringatan 70 Tahun Revolusi Sosial 1946 dengan tema ‘Melawan Lupa’ yang digelar di halaman Masjid Raya Al Mashun, Jl Sisingamangaraja Medan, Jumat (4/3/2016) malam.

Hadir Sultan Langkat Tuanku Azwar Abdul Jalil Rahmatsyah, mewakil Kesultanan Deli Daruk Adil, Sultan Serdang Tuanku Ahmad Tala’a Syariful Alamsyah, pemangku adat Kota Pinang Tengku Aijustafa Hamid, perwakilan kesultanan Kualuh, Bilah, Panai, Pangkostrad Letjen TNI Edy Rahmayadi dan sejumlah tokoh masyarakat dan tokoh adat lainnya.

Dalam kesempatan itu, Erry menyatakan, Revolusi Sosial yang terjadi di Sumatera Timur pada tahun 1946 menjadi catatan yang penting bagi masyarakat Sumut, terutama puak Melayu yang tersebar di pantai timur Sumatera.

“Tragedi berdarah tahun 1946 itu layaknya menjadi hikmah kepada puak Melayu untuk tidak terpecah-pecah. Jangan terpecah hanya karena nafsu berkuasa kita. Masyarakat Melayu melebur dalam kebersamaan. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh,’’ sebut Erry.

Sejarah Revolusi Sosial Sumatera Timur yang terjadi pada Maret 1946 memberikan duka dan penderitaan masyarakat Melayu. Penindasan, penculikan, pemerkosaan dan perbuatan amoral lainnya yang dilakukan penjajah dan kelompok yang tidak bertanggungjawab.

“Banyak syuhada dan pejuang yang gugur, termasultan, kerabat dan petinggi Kesultanan Melayu serta masyarakat adat setempat. Hal ini tidak hanya terjadi di pesisir pantai timur, tetapi juga terjadi di Karo dan Simalungun,” sebut Erry.

Erry juga mengapresiasi para tokoh budaya Melayu dan para cendikiawan muda yang telah menginisiasi terselenggaranya kegiatan memperingati Revolusi Sosial 1946 dengan tema Melawan Lupa. Revolusi Sosial 1946 merupakan sejarah kelam yang tidak boleh terulang kembali.

Revolusi Sosial 1946 penting diperingati sebagai sarana penguat semangat kebangsaan bagi seluruh emenen bangsa, tidak hanya bagi masyarakat Melayu tetapi juga masyarakat Sumatera Utara. Semoga kegiatan ini menjadi rujukan bagi para tokoh sejarah dan akan menjadi bahan kajian lebih lanjut.

“Kita memiliki ahli-ahli sejarah, kita juga masih memiliki ahli waris dari keluarga yang menjadi korban keganasan peristiwa 70 tahun yang lalu, kalaupun ini akan menjadi rumusan tentu akan kita matangkan terlebih dahulu,” tambah Erry.

Tidak lupa Erry berpesan, ‘Gerakan Melawan Lupa’ dapat melahirkan nilai-nilai kebersamaan sekaligus memperkokoh kebangkitan bangsa dalam bingkau NKRI.

Sebelum doa bersama berlangsung, pihak penyelenggara mengulas sejarah singkat terjadinya Revolusi Sosial 1946 yang menewaskan banyak nyawa dan pembakaran istana Kerajaan Melayu dan Kesultanan di Sumatera Timur.

Sultan Langkat, Tuanku Azwar Abdul Jalil Rahmatsyah sempat memaparkan sejarah singkat Revolusi Sosial 1946.

Revolusi Sosial Sumatera Timur merupakan gerakan sosial dalam melenyapkan kebaradaan Kesultanan dan Kerajaan Melayu. Revolusi ini dipicu gerakan kaum Komunis yang berusaha menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan antifeodalisme dengan melibatkan sejumlah orang secara terorganisir. Dalam peristiwa itu, terjadi pembunuhan sejumlah Sultan dan keluarganya, golongan menengah pro republik dan pimpinan lokal administrasi Rebublik Indonesia.

Seperti yang terjadi di Kesultanan Kualuh, salah satu Kerajaan Melayu yang berada di Tanjung Pasir, Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) pada 3 Maret 1946 lalu.

Sultan  Kualuh, Tuanku Al Hadji Moehammad Sjah diseret saat sedang sholat malam di rumahnya oleh sekelompok orang, kemudian di bawa ke kawasan Kuburan China, sebuah komplek perkuburan etnis Thionghoa.

Kelompok orang bersenjata tajam juga membawa Tengku Mansyoer Sjah gelar Tengku Besar, putera Sultan Kualuh ke lokasi yang sama. Demikian juga Tengku Dirman Sjah, adik kandung Tengku Mansyoer Sjah. Ketiganya kemudian disiksa lalu ditinggalkan begitu saja dalam keadaan sekarat.

Beruntung, pada pagi hari seorang nelayan yang sedang melintas menemukan ketiganya kemudian membawa ke para korban ke istana untuk mendapatkan perawatan. Sekitar pukul 11 siang, datang sekelompok orang berbeda menjemput ketiganya dengan alasan akan membawa ke rumahsakit.

Sejarawan Melayu Tengku Haris Abdullah Sinar dalam sebuah literatur mengatakan, para petinggi Kesultanan Kualuh tersebut dibunuh saat adzan sedang berkumandang.

“Saat hendak dibunuh, Tuanku sempat berkata; Bila kalian hendak membunuh kami, tunggulah Obang (adzan) selesai dikumandangkan dan izinkan kami sembahyang sekejap,” pinta Tuanku saat itu.

Permintaan tersebut tidak dikabulkan. Sultan Kualuh dan kedua puteranya tewas dibunuh. Peristiwa serupa juga terjadi di Kesultanan Panai, Kota Pinang, Negeri Padang Tebing Tinggi dan Kesultanan Bilah yang menewaskan Tuanku Hasnan.

Kesultanan Langkat juga mengalami nasib serupa. Tidak sedikit perempuan keluarga Kesultanan diperkosa dihadapan orangtua dan keluarganya. Sedangkan lelaki dibantai dengan sadis. Akibatnya, Kesultanan Langkat banyak kehilangan petinggi kerajaan dan sejumlah pakar. Dalam peristiwa ini, seorang sastrawan Tengku Amir Hamzah, Pangeran Langkat Hulu dan Wakil Pemerintah Republik Indonesia saat itu, turut terbunuh.

Peristiwa pembunuhan Tengku Amir Hamzah terjadi pada 7 Maret 1946. Dalam peristiwa itu, Tengku Amir Hamzah dan sejumlah petinggi Kesultanan Langkat dijemput paksa menggunakan truk terbuka oleh sekelompok orang kemudian di kumpulkan di Jl Imam Bonjol, Binjai. Bersama tahanan lainnya, Tengku Amir Hamzah disiksa kemudian dibunuh di perladangan di kawasan Kuala Begumit oleh Mandor Iyang Wijaya yang tidak lain adalah pelatih kesenian silat kuntau Istana Langkat.

Sebelum melakukan pembunuhan, algojo mengabulkan dua permintaan Tengku Amir Hamzah. Pertama; Tengku Amir Hamzah minta penutup matanya dibuka karena ingin menghadapi ajal dengan mata terbuka. Kedua; Tengku Amir Hamzah meminta waktu untuk sholat sebelum hukuman dijatuhkan.

Pembantaian dan pembunuhan juga terjadi di Negeri Padang, salah satu Kerajaan Melayu di Tebing Tinggi pada 3 Maret 1946. Dalam peristiwa ini, cucu Tengki Tebing Pangeran, Tengku Sortia, tewas ditangan sekelompok orang.

Peristiwa terjadi saat Tengku Sortia sedang sholat di rumahnya di kawasan Tongkah, perkebunan tembakau milik kerajaan Negeri Padang, bersama isterinya Puang Maimunah. Perkebunan Tongkah berada diantara Kabupaten Simalungun dan Serdang Bedagai (Sergai).

Tengku Sortia diseret dari rumah kemudian dibunuh. Jasadnya dihanyutkan ke sungai tidak jauh dari rumahnya.

Dimalam yang sama, 3 Maret 1946, Kesultanan Asahan di Tanjung Balai juga mengalami nasib serupa. Sebelum adzan Shubuh berkumandang, Tengku Muhammad Yasir menyambut Sang Ayah di rumahnya yang baru tiba dari istana setelah bersiaga akibat tersiar khabar akan terjadi penyerangan.

Rumah Cucu Sultan Asahan ke X ini berada di lingkungan Istana Kesultanan Asahan, di lingkaran Kota Raja Indra Sakti yang ditengahnya terhampar lapangan hijau.

Tengku Muhammad Yasir yang saat itu masih berusia 15 tahun, melihat sejumlah orang mengendap-endap kea rah istana saat membukakan pintu untuk ayahnya. Karena takut, Tengku Muhammad Yasir kemudian masuk ke dalam rumah bersama ayahnya.

Pukul 6 pagi, Istana Kesultanan Asahan diserang sekelompok orang. Sultan Asahan saat itu, Tuanku Sjaiboen Abdoel Djalil Rachmatsjah, berhasil melarikan diri melalui pintu belakang istana.

Satu jam kemudian, sekelompok orang datang ke rumah Tengku Muhammad Yasir dan membawa ayahnya. Tengku Muhammad Yasir tidak turut di bawa karena sedang menderita sakit pada bagian kaki yang mengalami pembusukan hingga mengeluarkan aroma tidak sedap.

Pasca penangkapan ayahnya, Tengku Muhammad Yasir menyelamatkan diri ke rumah kakak sepupunya, Tengku Haniah. Ternyata, Tengku Muhammad Yasir tidak menemukan seorangpun lelaki di rumah itu. Semua telah ditangkap sekelompok orang.

Dokumen Belanda memperkirakan, pembantaian di wilayah Kesultanan Asahan tahun 1946 menelan korban mencapai 1.200 orang. Belum lagi di sejumlah Kerajaan Melayu dan Kesultanan di Sumatera Timur lainnya. Banyak kerangka korban yang terkubur tak beraturan di Sungai Londir. Bahkan ada di dinding-dinding tanah.

Comments

Popular posts from this blog

Bagian Proyek Jalan Rp 2,7 T di Paluta dan Palas Start Bulan Ini

EDY RAHMAYADI MINTA MAAF SOAL PERNYATAAN MAJU LAGI PILGUBSU

Hendri CH Bangun Terpilih Jadi Ketua Umum PWI Periode 2023-2028 di Kongres XXV di Bandung