Plt Gubsu Tampung Keluhan Asosiasi Pengembang PLTA
Plt
Gubsu Tampung Keluhan Asosiasi Pengembang PLTA
Pembangunan 1.000 MW
PLTMH di Sumut Stagnan
Medan, (Mimbar) - Realisasi pembangunan
pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) di Sumut dengan potensi mencapai
1.000 MW mengalami stagnasi. Sulitnya mendapatkan perizinan yang bisa memakan
waktu 4-5 tahun dan kendala akses permodalan menjadi kenadala utama.
Hal itu disampaikan Asosiasi
Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air Sumut (APPLTA-SU) kepada Plt Gubsu H T
Erry Nuradi yang didampingi Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Edy Salim
dalam pertemuan di Kantor Gubsu, Kamis (22/10). Hadir Ketua Umum
APPLTA Nelson Parapat, Ketua Bidang Organisasi Joh Eron Lumban Gaol, SE para
pengurus diantaranya Chairman Naibaho, Gandi Tambunan, DR Edward Simanjuntak,
Jonni Pane dan Betesda Situmorang.
Menanggapi itu, Plt Gubsu akan mengundang
pihak-pihak yang berkompeten untuk duduk bersama APPLTA untuk membahas solusi
atas persoalan yang dihadapi. Potensi energi terbarukan di Sumut menurutnya
sangat besar dan sebenarnya bisa mengatasi kendala krisis energi yang kita
hadapi, berbagai solusi harus kita cari solusinya bersama.
“Pemprovsu akan mengggas pertemuan yang
melibatkan pihak-pihak berkepentingan Dinas Pertambangan, Penanaman Modal dan
Investasi, Badan Lingkungan Hidup, PT PLN, dan pemangku kepentingan di level
kabupaten kota agar bisa dialog bersama. Karena potensi luar biasa, harus bisa
kita atasi kendala,” ujar Erry.
Plt Gubsu mengatakan kondisi kelistrikan di
Sumut saat ini pasokannya 1.850 MW dengan kebutuhan dan pasokan yang pas-pasan.
Sementara waiting pengusulan sambungan baru pada Juni tahun ini sudah mencapai
500 MW. Menurut Plt Gubsu Pemerintah sudah memberi kemudahan untuk PLTMH dimana
harga jual kepada PLN dijamin. Berbeda deangan PLTA dengan kapasitas di atas 10
MW harus melewati proses negosiasi. “Ini membuktikan pemerintah memilki
kepedulian kepada PLTMH,” kata Erry.
Ketua Umum APPLTA SU Nelson Parapat menjelaskan
ada sebanyak 15 0 pengembang pembangkit listrik tenaga air di Sumut yang
terdaftar dan mengajukan proporsal kepada PT PLN wilayah Sumatera Utara dengan
total seluruh kapasitas 1.000 MW. Namun hingga kini banyak kendala yang
dihadapi para pengembang diantaranya proses perizinan yang bisa memakan waktu
4-5 tahun.
“Pertemuan ini sudah lama kami rancang,
tujuannya agar bagaimana pemerintah menggerakkan semangat 150 pengembang,
karena kalau berjalan baik bisa meng hasilkan 1.000 MW, sehingga menjadi solusi
krisis energy yang dialami Sumut,” ujar Nelson. Dari 150 pengembang yang
mengajukan proporsal, saat ini baru hanya 4 pengembang yang beroperasi, sedang
tahap konstruksi 8 pengembang, sebanyak 16 pengembang sudah memiliki PPA (Power
Purchase Agreement) dengan PLN, sebanyak 20 pengembang sedang proses PPA,
pengajuan proporsal 96 pengembang dan sebanyak 5 pengembang mengundurkan
diri.
Sebanyak 150 pengembang itu bergerak dalam
jangkauan 10 MW ke bawah. “Banyak hal penyebab keterlambatan, pertama persoalan
perizinan, saya punya pengalaman 5 tahun baru selesai. Untuk mengurus
peizinannya kami harus melewati 28 tahapan birokrasi,” kata Nelson. Dia
mensyukuri kebijakan pemerintah yang sudah dilakukan pemangkasan prosedur
perizinan di BKPM pusat, namun yang menikmati pengembang yang besar yaitu 10 MW
ke atas, sementara yang 10 MW mengurus perizinan di daerah masih mengalami kendala.
Nelson meminta agar Pemprovsu dapat mendorong
pemangkasan terhadap izin di tingkat kabupaten/ kota, bagaimana
permudah untuk bisa peroleh izin. Kadang izin lokasi yang sudah dikeluarkan
hanya 2 tahun, lanjutnya, harus diperpanjang lagi karena pengurusan perizinan
lainnya memakan waktu lama.
Selain itu, pengembang juga mengalami kendala
pedanaan, karena perbankan belum terlalu mendukung. Kesulitan pengembang lokal
untuk mendapatkan fasilitas kredit pembiayaan investasi PLTA dari perbankan,
belum ada lembaga keuangan nasional non bank yang menyediakan fasilitas kredit
equity. Disamping itu, belum ada regulasi pemerintah yang menjamin perbankan
nasional aman dalam membiayai proyek IPP PLTA (guarantee fund).
Padahal untuk membangun pembangkit PLTA memerlukan
dana yang tidak sedikit dimana setiap 1 MW dibutuhkan biaya 1,5- 3 juta US$.
Artinya untuk setiap membangun PLTMH 10MW diperlukan biaya Rp 300-400 milyar.
“Perbankan mensyaratkan memilki equity (modal sendiri:red) berkisar 30-35%
sehingga masih memberatkan para pengembang untuk menembus perbankan,” ujar
Nelson.
Dijelaskannya saat ini ada stagnasi penerbitan
Perjanjian jual beli listrik karena ada Peraturan Menteri ESDM nomor 19
tahun 2015 memberikan nafas baru kepada pengembang, dimana harga pembelian dari
pengembang dikonversikan ke dolar. Namun ini menjadi kesulitan bagi PLN karena
kecederungan ketidakstabilan kurs. Sampai sekarang menurtutnya PT PLN tidak mau
terbitkan perjanjian jual beli listrik yang baru.
Comments
Post a Comment