Hermansjah, PWI dan “Kiamat”

Hermansjah, PWI dan “Kiamat”

Medan (Mimbar) - Surat kabar bakal “kiamat” jika pers tidak dipercaya masyarakat. Namun sebaliknya, banyak pakar berpendapat, dunia akan “kiamat” jika tanpa pers.

Kedua pendapat itu sama benarnya. Bayangkan, alangkah sepinya dunia ini jika secara serentak media massa tidak beroperasi, baik cetak maupun elektronik. Tidak usah lama-lama, satu minggu saja. Bisa kacau “dunia persilatan”.

Lalu bayangkan pula, alangkah naifnya jika masyarakat dunia secara kompak tidak percaya lagi kepada pers. Mereka tidak mau membeli koran, tidak mau menonton televisi, enggan membuka internet. Lebih kacau lagi jadinya.

Oleh sebab itu, pers memang harus tetap introspeksi diri. Nyatalah, keberadaan pers memang diantara dua “kiamat”. Kalau dulu pers yang kebablasan langsung dibreidel oleh pemerintah, kini sudah berubah, pers di Indonesia benar-benar sudah bebas, tidak lagi dihantui bayang-bayang pencabutan SIUPP. 

Namun pembreidelan tetap saja ada. Memang bukan lagi pemerintah, tetapi masyarakat yang langsung “mencabut” SIUPP-nya, yakni dengan tidak membeli atau tidak menonton media massa yang mereka tidak percaya tersebut. Maka, bangkrutlah dia. Lama kelamaan, tutup.

Menyongsong kepengurusan baru Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumut di bawah kepemimpinan H Hermansyah yang terpilih secara demokratis dalam Konferensi Provinsi PWI Sumut di Aula Martabe Kantor Gubsu di Medan, Sabtu (5/12), wajarlah pers, khususnya PWI untuk kembali mengevaluasi profesionalisme dan ketaat-azasan seluruh komponen yang terlibat di dalamnya dalam menjunjung tinggi norma etik dan norma hukum jurnalistik, agar tidak terjerembab di antara dua “kiamat” tersebut.

Memang, membicarakan tentang pers yang bertanggung jawab dalam era reformasi dan tranparansi informasi saat ini dirasakan penting dan perlu dijadikan bahan pembahasan, sebab ada indikasi, sebagian masyarakat akhir-akhir ini mengidentifikasikan pers dengan berbagai istilah seperti praktik "jurnalisme anarki", "jurnalisme provokasi", “jurnalisme pelintir", “jurnmalisme premanisme”, bahkan "jurnalisme cabul" dan lain-lain sebutan yang sangat merugikan integritas dan kredibilitas pers Indonesia.

Di kalangan sebagian pers itu sendiri bahkan ada semacam kegamangan dalam melaksanakan kebebasan yang sangat liberal tersebut, sedang masyarakat yang pada awalnya menyambut gembira kebebasan dimaksud, kemudian merasa terkejut dan merasa aneh atas cara-cara pemberitaan yang sangat vulgar dan sensasional.
 
Akhirnya muncul gugatan yang mempertanyakan tanggung jawab pers dalam menyikapi kebebasannya. Padahal sebenarnya yang menjadi batas tanggung jawab kebebasan pers tersebut cukup sederhana, yakni sejauh mana pemberitaan pers tidak menyalahi ketentuan normatif, baik norma etik maupun norma hukum. 

Karena itu, selain perlunya landasan moral dan profesionalisme, dalam melaksanakan pers yang bertanggung jawab, lebih-lebih di era reformasi dan transparansi informasi, penataan norma etik dan norma hukum sangat mutlak. Tanpa itu, jangan diharapkan pers yang bertanggung jawab menjadi kenyataan.

Oleh sebab itu perlunya lebih tegas dilaksanakan standarisasi kompetensi wartawan sudah sangat mendesak, karena dewasa ini keberadaan media massa sering disoroti oleh masyarakat, baik tentang karya jurnalistik maupun keberadaan sarana dan prasarananya, terutama faktor pendukung bagi terlaksananya tugas jurnalistik yang representative, termasuk tingkat kesejahteraan wartawan yang masih di awang-awang.


Penerapan kompetensi tersebut, termasuk kompetensi untuk menjadi Pemred, perlu dipertegas, demikian juga lembaga independen akreditasi media massa diperlukan agar tidak muncul pihak-pihak yang hanya bermodalkan “mesin ketik” lalu membuka koran, tanpa jelas darimana untuk menggaji wartawannya,  tanpa memiliki sarana dan prasarana yang representatif, demikian juga sumberdaya jurnalistiknya, sehingga tidak heran akhir-akhir ini banyak wartawan yang berkeliaran hanya bermodalkan selembar “kartu pers”, tanpa jelas kompetensi dan kemampuannya di bidang jurnalistik.

Comments

Popular posts from this blog

Bagian Proyek Jalan Rp 2,7 T di Paluta dan Palas Start Bulan Ini

EDY RAHMAYADI MINTA MAAF SOAL PERNYATAAN MAJU LAGI PILGUBSU

Hendri CH Bangun Terpilih Jadi Ketua Umum PWI Periode 2023-2028 di Kongres XXV di Bandung