Lagi-lagi, Pilkada
Lagi-lagi, Pilkada
Rasanya belum hilang “letih” masyarakat menghadapi sejumlah
pemilu, baik Pilgubsu maupun Pilkada yang menguras enerji dan
pemikiran yang cukup besar, kembali 23 kabupaten dan kota di
Sumut akan menggelar pesta demokrasi tingkat lokal pada Desember 2015
nanti. Hanya bedanya, Pilkada kali ini dilaksanakan serentak.
Kalau dibilang “letih”, begitulah adanya. Itulah
konsekuensi demokrasi. Oleh sebab itu, semestinyalah momentum ini disikapi
secara gempita oleh masyarakat di 23 kabupaten dan kota itu.
Berbagai pengalaman pada penyelenggaraan Pemilu, Pilgubsu maupun
Pilkada sebelumnyamerupakan guru berharga. Hal-hal positip hendaklah dirujuk
secara objektif, dan berbagai permasalahan perlu diantisipasi sejak dini,
terutama mengenai pendaftaran dan pendataan pemilih yang sering menuai protes.
Memang gampangnya cukup memakai daftar pemilih pada Pilgubsu
lalu, namun masing-masing kabupaten hendaklah memperbaharui dan memvalidasinya
kembali secara akurat agar tidak timbul masalah di belakang hari.
Namun yang paling penting dari semua itu, suasana kondusif dan
Pilkada damai haruslah menjadi pijakan semua pihak di masing-masing kabupaten
dan kota.
Komitmen ini harus benar-benar kokoh, sebab potensi konflik
pilkada kabupaten dan kota ditengarai lebih besar dibanding tingkat
propinsi, terutama yang terkait dengan unsur-unsur primordialisme, mengingat
sentimen lokal jauh lebih tebal ketimbang di propinsi.
Oleh sebab itu ada semacam ’warning’,
khususnya kepada para pemuka adat dan tokoh masyarakat, agar mewaspadai dan
mengantisipasi secara dini kemungkinan mencuatnya sentiman lokal yang mengarah
kepada unsur-unsur primordialisme menjelang pilkada tersebut.
Sentimen lokal perlu kita sikapi secara arif,
sehingga tidak mengarah kepada nasionalisme lokal dalam arti sempit, apalagi
menuju etno-sentris. Inilah unsur strategis yang patut dihayati para pemangku
kerukunan etnis di masing-masing kabupaten dan kota,
mengingat denyut kemasyarakatan ini terasakan sudah ”membayangi” berbagai
wacana setempat.
Komunikasi antar etnik dan berbagai fenomena
etnis lainnya harus bisa dicermati dan dianalisis secara arif. Semua potensi
etnik yang ada harus diajak untuk terus membangun harmonisasi dan kerukunan,
sehingga komitmen pilkada damai benar-benar dijunjung oleh semua pihak di
masing-masing kabupaten.
Dalam era globalisasi saat ini, terutama
dalam menghadapi momentum-momentum politik lokal, potensi konflik yang
bersinggungan dengan etnis dan Agama dapat semakin intens, apalagi jika dikaitkan
dengan paradigma otonomi daerah yang juga dapat menjadi penguat tumbuhnya
sentimen lokal.
Semua pihak tentu tidak menginginkan
timbulnya konflik di antara masing-masing etnis maupun antar umat beragama.
Oleh sebab itu, pemuka Agama dan pemuka adat yang selalu berhadapan dengan umat
maupun masyarakat adatnya diharapkan dapat memposisikan diri dalam memberikan
pemahaman nilai-nilai etika dan budaya dalam konteks pilkada.
Kita yakin betul bahwa pemuka Agama maupun
pemuka adat mampu memberikan penyadaran kepada masyarakat agar menggunakan hak
pilihnya secara benar berdasarkan orientasi, visi dan program, sekaligus
membentuk pola pikir objektif dan rasional masyarakat, agar tidak terjebak
dalam jargon-jargon yang dapat mengusik unsur-unsur SARA.
Pemuka Agama dan pemuka adat telah terbukti
mampu membangun karakteristik masyarakat yang heterogen ini, sehingga keragaman
tersebut disadari menjadi potensi untuk mengembangkan kebersamaan dan
kerukunan. Sikap kebersamaan dan toleransi yang tinggi inilah yang membuat
potensi konflik dapat kita hindari. Selamat ber-pilkada.
Comments
Post a Comment