Upik Janda Tua Penjual Pecal Keliling
Sketsa
Masyarakat
Upik
Janda Tua Penjual
Pecal Keliling
Laporan Fela Felia Batubara
Hidup di kota metropolitan seperti
Kota Medan ini, tidak selamanya menjamin kesuksesan ekonomi keluarga dan
terkadang kota ini tidak juga menjadi tempat yang nyaman untuk mencari nafkah. Bahkan,
tak asing lagi jika wanita pun mau tak mau turut membanting tulang demi mencari
sesuap nasi.
Hal di atas seperti yang dialami
seorang wanita tua bernama Fauziah (60). Demi menafkahi seluruh anggota
keluarganya, janda yang memiliki tujuh orang anak ini, belasan tahun sudah
berjualan bermodalkan sepeda tua yang setia menemaninya ke mana-mana.
Semenjak 13 tahun lalu suaminya
divonis penyakit paru-paru oleh Dokter, tak ada kata takut baginya melakukan
apa yang ia bisa demi memenuhi kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan sekolah
ketujuh putra-putrinya. Ia pun berjual pecal keliling.
Sebelum divonis sakit paru-paru,
suaminya memiliki pekerjaan yang tak menetap atau mocok-mocok. Diakuinya,
walaupun begitu sang suami tak malu untuk bekerja asalkan halal.
Tetapi, siapa yang bisa menghalang
maut, lelaki tercinta itu pun tiada setelah penyakit paru-paru tersebut
menggerogoti tubuh dan nafas suaminya. Tahun 2009 lalu adalah tahun kelam bagi
Fauziah, ia ditinggal pergi sang suami yang sangat ia sayang untuk
selama-lamanya. Sehingga kenyataan ini menjadikannya sebagai sosok wanita yang
tegar.
Sejak itulah ia semakin berani menghadapi
kehidupan yang semakin menantang ini, karena merasa memiliki tanggung jawab
untuk menafkahi anaknya.
Meskipun
kini tiga orang anaknya telah berumah tangga sehingga mengurangi bebannya,
tetapi ada empat anak lagi yang menjadi tanggungannya. Maka, bertahanlah ia
sebagai penjual pecal keliling demi sang anak.
“Saya sudah jualan pecal selama 13 tahun,
setiap hari ya begini naik sepeda keliling-keliling dari siang sampai sore dan
kadang-kadang sampai malam juga kalau pecalnya sore belum habis,” kata ibu yang
akrab disapa Upik tersebut.
Tetangga, kerabat, dan masyarakat
sekitar lingkungan rumahnya yang berada di Kelurahan Sari Rejo, Medan Polonia,
memanggil ia dengan sebutan Upik. Bahkan, pelanggan pecal setianya pun telah
mengenal ia dengan nama ibu Upik pula.
Setiap hari Upik mengayuh sepedanya
menelusuri jalanan Kota Medan ini, perjalanannya pun tak dapat dibilang dekat
bagi seorang wanita yang sudah tua. Seperti saat dijumpai di kawasan Teladan
Barat, ia tampak kuat mengayuh sepeda di usianya yang semakin senja.
“Perjalanan saya setiap hari itu ya
dari rumah saya di Sari Rejo lalu lewat Appros, Kampung Baru, terus lewat Jalan
Pelangi, Sisingamangaraja sampai Simpang Limun lalu balek lagi ke rumah,” paparnya.
Ia menjelaskan, berangkat dari rumah
sekitar pukul 14.00 WIB, paling cepat ia kembali ke rumah pukul 18.00 WIB
bahkan terkadang sampai malam jika dagangannya belum habis.
“Beginilah kalau kita jualan, harus
sabar-sabar nunggu pembeli. Ya, kadang rame kadang sepi tapi itu semua harus disyukuri,
saya yakin Allah telah mengatur rezeki kita masing-masing,” ungkapnya.
Dagangan Upik adalah makanan tradisional yang
sering dicari oleh masyarakat, seperti pecal, getuk, sate, bakwan dan mie.
“Ibu bisanya cuma masak yang kayak
gini, makanan-makanan kampunglah, semua ini ya saya sendiri yang masak kadang
dibantu anak juga,” ucapnya, saat ditemui pekan
lalu.
Ia melanjutkan, memasak dagangannya tersebut
mulai dari pagi hari usai ia belanja dari pasar atau kedai sampah dekat
rumahnya. Betapa tiada hentinya ia bekerja tanpa mengenal lelah, mulai belanja,
masak hingga menjualnya. Hanya di malam hari ia dapat beristirahat merebahkan
keletihannya seharian.
“Kalau gak begini bagaimana lagi
bisa dapat uang, ibu kan janda punya anak banyak. Kalau malas-malasan mau makan
pake apa,” katanya.
Diakuinya, dengan berdagang seperti
ini juga lumayan hasilnya bagi warga menengah ke bawah. Pundi-pundi rupiah yang
telah terkumpul setiap hari ia belanjakan kembali, selebihnya untuk membeli
kebutuhan pokok seperti beras, gula, dan minyak makan. Terkadang jika
ada sisanya ia tabung untuk membeli keperluan yang ia anggap penting.
“Uangnya kalau ada sisa, saya
celengi dikit-dikit.
Kayak ini nih, peti jualan saya kemarin-kemarin itu jelek karena kan udah lama, jadi setelah uang celengan saya
terkumpul saya belikan peti baru, kalau tidak nabung mungkin gak bisa ganti
baru ya,” jelasnya.
Begitulah Fauziah sang penjual pecal
keliling, di usianya yang semakin menua, kaki kecilnya masih kuat dan
kokoh mengayuh sepeda berkilo-kilo
meter, seperti hati dan jiwanya yang juga kuat dan kokoh menghadapi cobaan
hidup sehingga ia layak disebut wanita perkasa. ***
Reporter tamu ini mahasiswa bahasa dan sastra
Indonesia FKIP UISU
Comments
Post a Comment