Jurnalisme Profetik dan Misi Suci Firdaus
Oleh :
WIDODO ASMOWIYOTO
Tak
ada rencana sebelumnya, Kamis 24 Juli 2019 lalu saya harus ke Kota Cilegon,
Provinsi Banten. Tujuannya untuk menunaikan tugas organisasi Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) Pusat selama dua hari (25-26 Juli) di kota ujung barat
Pulau Jawa itu, yakni menjadi asesor Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang
diselenggarakan PWI Provinsi Banten.
Perjalanan
selama tiga hari tersebut terasa menjadi sangat bersejarah dalam hidup saya,
sekurangnya karena dua alasan tambahan. Pertama, sudah sangat lama saya tidak
mengunjungi Provinsi Banten, khususnya Kota Cilegon. Kedua, tidak saya duga
sebelumnya bahwa selain menghadiri UKW, saya dan rekan-rekan asesor juga
berkesempatan meninjau Kampus Journalism Boarding School (JBS) milik Firdaus
Ansueto di Kota Cilegon, Provinsi Banten. Firdaus yang sebelumnya menjabat
Ketua PWI Provinsi Banten, sejak akhir September 2018 lalu promosi menjadi
Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat hasil Kongres XXIV PWI di Solo, Provinsi Jawa
Tengah.
Bagi
saya, momentum silaturahim dengan Firdaus tersebut terasa menjadi lebih
bersejarah lagi. Karena dari penjelasannya tentang “padepokan” penggodokan
calon-calon wartawan profetik tersebut, ditambah paparannya pada acara
penutupan UKW PWI Provinsi Banten yang terdiri atas dua angkatan (13 dan 14)
itu, tergambar secara jelas apa yang menjadi misi suci Firdaus baik dalam
kapasitas pribadi sebagai wartawan maupun dalam kapasitas sebagai pengurus PWI
Pusat.
Dalam
pandangan Bapak Firdaus yang juga pemilik beberapa perusahaan media itu, bekal
awal dan mendasar untuk menjadi seorang wartawan adalah memiliki idealisme.
Bahkan akan lebih baik apabila idealisme itu memiliki kadar yang sangat
tinggi.
Sejalan
dengan itu, Firdaus yang juga disebut-sebut punya peluang kuat sebagai bakal
calon walikota, punya keyakinan sebetulnya hanya dengan “tidak memiliki niat
buruk” seperti dipesankan Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) maka “cukuplah”
atau “selesailah” misi pekerjaan seorang wartawan. (Isi selengkapnya Pasal 1
KEJ adalah, “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang
akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”).
Tentu
saja Firdaus bermaksud menggarisbawahi pentingnya niat baik dimiliki para
wartawan sejak yang bersangkutan memilih profesi wartawan sebagai jalan
hidupnya. Dengan sejak awal sudah memiliki niat baik, maka dalam perjalanan
selanjutnya insya Allah wartawan akan mau memahami dan mampu menerapkan KEJ
produk Dewan Pers yang terdiri atas 11 pasal itu. Bahwa kemudian KEJ yang
disusun Dewan Pers –dengan melibatkan para insan pers nasional pada tahun 2006
itu dewasa ini terasa perlu disempurnakan lagi, maka pesan-pesan moral yang
diserukan dalam kode etik tersebut masih relevan.
Kalaupun
dinilai masih ada kekurangan sehubungan dengan perkembangan zaman, maka Dewan
Pers pun telah mengeluarkan Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS) pada tahun
2012 dan terakhir Dewan Pers juga mengeluarkan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
(PPRA). Selain itu, Dewan Pers juga telah melahirkan beberapa peraturan tentang
wartawan dan perusahaan pers yang secara garis besar ingin menuju
profesionalisme yang ideal.
Dengan
berbekal sikap taat KEJ dan pedoman turunannya serta UU Pers dan peraturan
terkait pers, mudah-mudahan para reporter muda yang akan dilahirkan “pondok
pesantren jurnalis” Pak Firdaus tersebut akan menjadi wartawan profetik seperti
yang diinginkan. Hal itu juga sangat relevan dengan kebutuhan bangsa Indonesia
saat ini dan ke depan sehubungan dengan maraknya korupsi dan tindak perkeliruan
lainnya. Dalam situasi dan kondisi yang cenderung menuju kerusakan moral itu,
sangat diperlukan kehadiran dan kiprah para wartawan profetik.
Sekedar
menyegarkan ingatan, istilah jurnalisme profetik atau wartawan profetik di
Indonesia terasa lebih menggema ketika wartawan senior Parni Hadi yang juga
mantan Sekretaris Jenderal PWI Pusat itu meluncurkan buku berjudul Jurnalisme
Profetik pada Maret 2014. Buku tersebut merupakan hasil pergulatan pemikiran
dan perenungan Parni Hadi sejak ia menapaki karier jurnalistik awal 1973 hingga
kini (Republika.co.id, Senin, Maret 2014).
Parni
Hadi yang pernah memimpin Republika, Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN)
Antara dan Radio Republik Indonesia (RRI) serta terlibat dalam beberapa
organisasi pers di dalam dan luar negeri itu, merasa didera pertanyaan “untuk
apa semua karier jurnalistiknya” itu. Dia juga berusaha mencari makna atas
profesi yang digelutinya secara intens sejak 1973. Dengan berbagai pengalaman
naik dan turun, akhirnya Pak Parni Hadi menemukan jawaban ini: “Menjadi
wartawan sebagai ibadah”.
Kata
profetik berasal dari bahasa Inggris prophetic. Artinya adalah kenabian. Karena
itu, jurnalisme profetik adalah jurnalisme kenabian. Maksudnya, jurnalisme yang meneladani akhlak dan perilaku mulia para nabi dan rasul
dari semua agama.
Tugas
para nabi dan rasul, menurut Alquran, adalah untuk: “menyampaikan kabar dan
memberi peringatan”, mengajak orang berbuat kebaikan dan memerangi kebatilan
atau amar makruf nahi munkar. Tugas itu sama dengan apa yang diemban para
wartawan, menurut fungsi pers dan kode etik jurnalistik yang bersifat
universal. Dengan demikian, menurut Parni Hadi, pada dasarnya para wartawan adalah
pewaris dan penerus tugas kenabian.
Kurang
lebih seperti itu pulalah yang akan diwujudkan oleh Firdaus melalui Journalism
Boarding School (JBS) yang beliau dirikan dengan fasilitas gedung, tempat
tinggal peserta, dan peralatan yang relevan. Para peserta didik saat ini
rata-rata berusia muda digembleng untuk menjadi wartawan profetik yang bukan
saja harus mahir menulis, tetapi yang juga lebih penting adalah memiliki
karakter yang baik, jujur, disiplin, dan taat beribadah.
Dengan
“ponpes wartawan” ini, Firdaus ingin melahirkan para wartawan sekaligus juru
dakwah yang unggul seperti halnya beberapa pendiri bangsa Indonesia yang
memiliki latar belakang sebagai wartawan, penulis, dan negarawan yang berbobot
dan sangat idealis. Semoga Allah Swt, Tuhan Yang Mahakuasa, meridhoi nya serta
menganugerahi kemudahan, kelancaran, dan keberkahan. Amiin Ya Rabbal
‘Aalamiin.
(Penulis
adalah anggota tim asesor UKW PWI Pusat dan mantan Pemimpin Redaksi II Harian
Pikiran Rakyat)
Comments
Post a Comment