Akademisi Unpab Dr Abdiyanto : Ironis, Potensi Ekonomi Sumut Jadi Pusat Kemiskinan Baru
Narasumber Dr Abdiyanto SE MSi (kelapan kiri) dan Ade Novalina
SE, MSi (ketujuh kiri) diabadikan bersama Ketua Prodi EP Saimara Sebayang SE
MSi (keenam kiri) serta para dosen seusai diskusi ilmiah. Foto (Mimbar/ist)
Medan (Mimbar) - Akademisi Universitas Pembangunan Panca Budi
(Unpab), Dr Abdiyanto SE MSi mengatakan, tranformasi ekonomi di Provinsi
Sumatera Utara (Sumut) sudah berlangsung, yaitu bergesernya sektor
pertanian/perkebunan ke sektor industri dan jasa. Sayangnya, transformasi itu
justru menumbuhkan kemiskinan baru di pusat-pusat potensi ekonomi Sumut.
“Memang transformasi ekonomi itu memberikan andil dalam
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan Sumut. Tapi tingkat kemiskinan di Sumut
justru bertambah berdasarkan data BPS dan Program Keluarga Harapan (PKH),”
ungkap Abbdiyanto saat menjadi narasumber pada diskusi ilmiah yang digelar
Program Studi (Prodi) Ekonomi Pembangunan (EP) Fakultas Sosial Sains (FSS)
Unpab, di Ruang Seminar A, Kampus Tamadun Mandiri Unpab, Jalan Gatot Subroto
Medan, kemarin.
Diskusi ilmiah yang dirangkai dengan acara berbuka puasa bersama
civitas akademika Prodi EP itu, juga menampilkan narasumber Ade Novalina SE,
MSi, dosen EP Unpab. Diskusi dihadiri Ketua Prodi EP Saimara Sebayang SE MSi,
para dosen di antaranya Dr E Rusiadi SE MSi dan Suhendi MA, serta ratusan
mahasiswa Prodi EP Unpab.
Abdiyanto kemudian mengutip laporan BPS tahun 2017, bahwa
penduduk miskin di Sumut berjumlah 1.457.372 jiwa (10,22 persen). Sedangkan
penduduk miskin Sumut berdasarkan data Dinas Sosial Sumut yang diukur dari
Program Keluarga Harapan (PKH), jauh lebih tinggi, yakni 2.804.000 jiwa pada
2019.
“Itu artinya transformasi ekonomi tidak serta merta memberikan
kesejahteraan kepada masyarakat. Yang lebih ironis, pusat-pusat kemiskinan itu
berada di pusat-pusat potensi ekonomi Sumut. Misalnya di kawasan pesisir,
sekarang nelayan yang dulunya punya sampan sekarang menjadi buruh di kapal
penangkap ikan. Petani yang dulunya punya areal pertanian, sekarang menjadi
buruh industri. Begitu juga sektor perkebunan/kehutanan, dulu mereka
punya PIR (Perkebunan Inti Rakyat) sekarang jadi buruh parbrik dan
kebun,” katanya.
Yang lebih ironis, kata Abdiyanto, di kawasan Pangkalan Brandan,
Langkat, tempat pertamakali ditemukan minyak di Indonesia dan Pertamina
berdiri, sekarang justru jadi pusat kemiskinan baru. Pangkalan Brandan
kini seolah kota mati. Gedung-gedung banyak terbengkalai, dan
fasilitas-fasilitas Pertamina tak terawat lagi. “Ini menjadi pukulan bagi Sumut.
Apakah begini rancang bangun ekonomi Sumut. Daerah-daerah potensial justru
seperti kutukan,” tutur dosen FSS Unpab ini.
Padahal, kata Abdiyanto, di negara tetangga seperti Malaysia dan
negara maju lainnya, sektor pertanian menjadi potensi menyejahterakan, bukan
memiskinkan masyarakat. “Ini terjadi akibat pemerintah salah kebijakan.
Karenanya, kita minta Gubernur Sumut H Edy Rahmayadi agar melihat permasalahan
ini, sehingga tingkat kemiskinan berkurang guna menuju Sumut yang bermartabat,”
tutur Abdiyanto.
Narasumber lainnya, Ade Novalina mengatakan, berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukannya, kebijakan moneter yang berdampak pada jumlah
penduduk miskin harus dikendalikan dalam tiga tahap. Pertama untuk jangka
pendek, jumlah penduduk miskin dikendalikan dengan transmisi variabel ekspor
dan inflasi.
Lalu dalam jangka menengah, pengendalian penduduk miskin
menggunakan variabel inflasi dan ekspor. Sedangkan dalam jangka panjang ekspor
dan produk domestik bruto (PDB). “Faktor yang paling
mempengaruhi penduduk miskin di negara emerging market sebagian besar oleh PDB,
seperti di India, Indonesia, China dan Rusia,” kata Ade. (NSR)
Comments
Post a Comment