Menunggu UU SDA yang Baru
Menunggu UU SDA yang Baru
Seiring bertambahnya penduduk dan eskalasi pembangunan ekonomi, fungsi ekonomi dan sosial air sering terganggu karena semakin kritisnya suplai air, sementara permintaan terus meningkat.
Melihat
kekhawatiran inilah, sumber daya air kemudian tidak lagi diperlakukan sebagai
barang publik murni (pure public good) sehingga pemanfaatannya pun kemudian
diatur dalam berbagai bentuk aturan main.
Di
Indonesia, aturan main itu antara lain ada dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), yang membuka peluang untuk penguasaan
swasta atas air melalui hak guna usaha.
Dalam hal
ini, hak guna usaha air dapat diberikan kepada perorangan atau badan usaha guna
tujuan komersial dan atau untuk memenuhi kebutuhan usahanya berdasarkan izin
dari pejabat yang berwenang.
Komersialisasi
inilah yang kemudian dikhawatirkan akan mendorong pihak-pihak swasta atau
investor menguasai sumber daya air sehingga bisa tidak terkontrol. Sementara
air adalah sumber daya yang semakin langka.
Terlepas
dari polemik itu, yang jelas kemudian pada Februari 2015 lalu Mahkamah
Konstitusi (MK) membatalkan seluruh isi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 karena
dianggap telah membuka peluang privatisasi dan komersialisasi pengelolaan air
yang menurut pasal 33 UUD 1945 dikuasai oleh negara.
Dengan
dibatalkan keberadaan UU SDA, MK menghidupkan kembali UU Nomor 11 Tahun 1974
tentang Pengairan untuk mencegah kekosongan hukum hingga adanya pembentukan
undang-undang baru. Karenanya, segala bentuk pengelolaan air tidak lagi
berdasar pada UU SDA, tetapi UU Pengairan.
Jelas ini
suatu permasalahan krusial yang perlu dibahas serius untuk mempersiapkan
perangkat aturan main menghadapi pelestarian air.
Artinya,
Keputusan MK yang membatalkan seluruh isi UU itu patut kita simak, terutama
terkait penguasaan sumber daya air dan swastanisasi.
Ketua Badan
Litbang Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Dr Ir Ari Setiadi,
menuturkan, perlunya peraturan, regulasi atau Undang-undang yang baru terkait
pengaturan sumber daya air, sebab UU Nomor 11 Tahun 1974 yang dihidupkan
kembali sejak UU 7/2004 dibatalkan MK, masih menimbulkan masalah, karena
keadaan sumber daya air pada tahun 1974 dengan hari ini sangatlah berbeda.
Namun harapan sudah mengemuka. Pemerintah saat ini sedang mempersiapkan UU baru pengelolaan sumberdaya air yang diharapkan lebih representatif untuk kepentingan semua pihak, termasuk terhadap investasi pengelolaan air mineral yang memang dibutuhkan masyarakat, namun tetap menjamin kelestarian sumberdaya air dan lingkungan.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga sudah memastikan akan tetap melindungi dan mengawal sejumlah investor yang sudah menanamkan modal di sektor pengelolaan daya air meskipun Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Undang-Undang (UU) Sumber Daya Air Nomor 7 tahun 2004.
Kepala BKPM menegaskan akan melindungi investor-investor yang sudah mengantongi izin dan terhadap investor baru akan dibahas pada undang-undang baru sampai ada ketentuan baru yang disusun.
Dari uraian di atas tergambar jelas perlu pengaturan lebih representatif agar kelestarian air terjamin namun pemanfaatannya juga dapat dirasakan masyarakat.
Comments
Post a Comment