Sosmed Sarana Efektif Penjaringan Teroris
Sosmed Sarana Efektif Penjaringan Teroris
Medan, (Mimbar) - Aksi radikalisme bisa tumbuh di mana saja karena saat ini sangat mudah untuk memprovokasi orang menjadi seorang teroris. Bahkan, perkembangannya, perekrutan dan penjaringan teroris saat ini lebih banyak dilakukan melalui media social.
“Proses radikalisme saat ini sangat massif dan begitu cepat, karena radikalisme bisa tumbuh di mana saja. Kita tidak bicara di Medan, Solo maupun di Jakarta. Bahkan berdasarkan penelitian yang dilakukan BNPT dengan beberapa Universitas, orang yang mudah terprovokasi dari segi usia mulai 18 tahun hingga 30 tahun,” kata Direktur Pencegahan Badan Penanggulangan Teroris, Brigjen Pol Hamidin, dalam Diseminasi Peningkatan Profesionalisme Media dalam meliput isu-isu terorisme, Rabu (21/9).
Bahkan dijelaskan Hamidin, di Solo pihaknya menemukan teroris bernama Nurahman yang usianya 31 tahun. Ini menandakan beberapa riset yang dilakukan benar adanya. “Selain itu penelitian yang kita lakukan juga bahwa penyebab terbanyak aksi radikalisme ini terjadi ternyata berasal dari media social,” terangnya.
Lanjut Hamidin, kalau dulu untuk merekrut orang menjadi teroris itu sangat sulit, sehingga banyak teroris yang mewariskan ataupun merekrut anggota dari keluarga sendiri. “Seperti dulu itu ada kelompok teroris di Menteng, mereka merekrut dari seleksi melakukan identifikasi siapa yang berani lalu diberikan doktrik dan diajarkan berjihad, hingga melakukan aksi radikalisme,” terangnya.
Namun, saat ini untuk merekrut teroris tidak lagi dibutuhkan kontak verbal, cukup mengajak orang melakukan aksi radikalisme melalui social media. “Ini bisa kita lihat dari aksi terror bom yang terjadi di Gereja Santo Yoseph di Medan, itu juga melalui social media. Dalam social media mereka menggunakan forum chatting. Makanya, saat ini kontak verbal tidak lagi menjadi sarana orang bertindak radikal,” paparnya.
Ini kata dia bisa dibuktikan dengan tertangkapnya seorang PNS yang baru dua kali bertemu kontak mata dengan kelompok radikal, namun setelah itu dia diminta sendiri untuk mempelajari sendiri dan akhirnya dia mampu berbuat aksi radikal. “Makanya penyebarannya ini sudah sangat massif, ISIS sendiri saat ini sudah melakukan keduanya, kontrak verbal dan memanfaatkan media social. Bahkan seperti kita tahu Bahrun Naim juga merupakan sososk yang sangat aktif di medsos,” jelasnya.
Apalagi kata dia, saat ini masyarakat tidak peduli terhadap proses radikalisasi. Berbeda misalnya di negara Austria, di sana ibu-ibu membentuk organisasi yang mengajak dunia agar anak terbebas dari aksi radikalisme. Caranya dengan mengawasi anak bermain gadget. “Organisasi ibu-ibu dari Austria ini pernah ke Jember dan memberikan masukan agar anak-anak di Jember dapat diawasi dalam memainkan gadget dan diajak untuk kembali bermain dengan alam,” katanya.
Kalau kita lihat saat ini lanjut dia, masyarakat luar sudah sangat menyadari kalau aksi radikalisme bisa timbul dari keluarga. Oleh karena itulah, masyarakat dimintanya untuk bisa lebih peka terhadap lingkungannya. “Makanya kita harus lebih peka melihat misalnya anak yang bermain gadget, situs apa yang dibukanya, bisa saja situs radikalisme, dan lingkungan juga kita pelajari. Biasanya, lingkungan yang mengarah kepada aksi ini adalah linkungan pelajar yang ekslusif agamanya dan kelompok ini tidak mau bergabung dengan kelompok lain,” paparnya.
Kelompok mereka terkesan ekslusif dan biasanya tidak mau bergabung dengan siapa saja, dan senantiasa menanamkan jiwa yang bertentangan dengan orang lain. “Mereka akan menganggap bahwa Islam yang bukan dari kelompok mereka adalah murtad, atau yang diluar kelompok mereka adalah kafir, ini salah satu cirinya,” jelasnya.
Sebagai upaya untuk menangkal hal ini, kata dia, BNPT sendiri juga sudah berupaya melakukan kerjasama dengan 17 Kementerian. Namun, untuk menghempang aksi radikalisme tidak hanya semata disandarkan pada BNPT maupun Densus 88, namun diharapkannya semua elemen masyarakat juga dapat membantu.
Di tempat yang sama mantan mentor Jihadis, Khairul Ghazali mengatakan, tujuan aksi terorisme selama ini ada tiga, pertama untuk memperkuat legitimasi kelompok terkait, mengintimidasi pemerintah dan aparat juga memperluas pengaruh di masyarakat.
“Siapaun bisa terjebak menjadi seorang teroris, bahkan ulama sebesar Abu Bakar Baasyir juga bisa terjebak. Hal ini dikarenakan banyak pemahaman Islam yang mempelintir arti jihad. Akibat dari sistem Indonesia yang dinilai khufur maka ditanamkan kalau hal itu harus dibasmi, inilah yang membuat orang banyak terjebak,” jelas Khairul.
Khairul juga membenarkan kalau selama ini banyak teroris yang merekrut keluarganya untuk menjadi seorang teroris. Seperti dikatakannya Imam Samudera yang merekrut dua anaknya yang juga menjadi teroris.
Sementara, menurut dia kalau di Malaysia, tidak semua ulama bisa memberikan tafsir agama, namun segala sesuatu harus dikeluarkan melalui Majelis Fatwa Kebangsaan. Sedangkan di Indonesia setiap orang bisa bebas melakukan doktrin ajaran yang salah, apalagi ditambah dengan perkembangan teknologi sehingga penyebarannya bisa semakin massif.
“Media massa dan media social ini sebenarnya sangat besar perannya dalam membesarkan dan memblow up pesan-pesan dari para teroris. Sedangkan pemerintah kecolongan, karena apa yang diberitakan media massa maupun media social terkait terorisme itu sebenarnya bertujuan untuk menjatuhkan pemerintah, inilah salah satu tujuan dari teroris,” ujar Khairul yang pernah terlibat dalam aksi terror Bank CIMB Niaga.
Comments
Post a Comment