Wamena Cukup Sampai di Sini
Catatan
Asro Kamal Rokan
WAMENA
berangsur pulih. Kelompok kriminal bersenjata, yang turun dari gunung dan
melakukan pembakaran, telah kembali ke gunung. Beberapa lainnya ditangkap
aparat keamanan. Namun ketakutan belum reda. Sekitar sepuluh ribu pendatang
mengungsi.
Kerusuhan
Wamena, Senin (23/9/2019) menyentakkan banyak orang, di saat perhatian tertuju
pada unjuk rasa mahasiswa di berbagai kota, yang disebut-sebut ada penunggang.
Jakarta terlihat sangat fokus pada aksi unjuk rasa -- bahkan disebut-sebut
melibatkan Islam radikal, petugas medis, juga pendukung sepakbola. Wamena
seakan sangat jauh.
Senin
itu, gerombolan kriminal -- demikian biasa disebut -- membakar kota Wamena,
mengejar, dan membunuh masyarakat sipil. Kepolisian mencatat, 33 orang tewas,
ratusan lainnya mengalami luka, ratusan rumah dibakar.
Ini
sungguh menyedihkan. Langit seakan runtuh di Wamena. Rasa kemanusiaan
terguncang begitu keras. Kelompok bersenjata, yang selama ini berteriak tentang
pelanggaran hak asasi manusia, justru melakukan pembantaian -- yang jauh dari
kemanusiaan. Pembunuhan yang mereka lakukan, seperti kisah zaman purba, tanpa
hukum.
Lihatlah
tragedi dokter Soeko Marsetiyo. Dokter yang dengan sangat rela mengabadikan
dirinya selama 15 tahun di Tolikora, terjebak dalam unjuk rasa. Soeko tewas di
bumi yang dicintainya.
Hari
itu, dokter Soeko menuju Wamena dari Puskesmas Talikora. Di Wamena, Soeko
terjebak kerumunan masa pengunjuk rasa. Mobilnya dibakar. Soeko coba keluar,
namun massa sangat biadab, membacoknya. Soeko tewas. Polisi menyebutkan, Soeko
meninggal akibat cidera kepala, luka bacok, dan luka bakar di bagian punggung.
Sehari
sebelum kematian yang tragis itu, menurut keluarga, dokter Soeko mengirim pesan
pendek (SMS) kepada beberapa keluarga. Isi pesan pendek itu berupa potongan
Ayat Kursi.
Lihat
pula kisah Sri Lestari, pedagang baju keliling asal Solo, berhasil lepas dari
maut. Ketika itu, Sri dan sembilan orang lainnya, naik mobil untuk
menyelamatkan diri ke Polres Jayawijaya. Di perjalanan, mobil mereka dihadang.
Dipaksa turun, diseret, dan dipukuli.
"Mereka
menyeret paksa kami keluar dari mobil. Kami diperlakukan seperti binatang. Apa
salah kami?” kata Sri, menangis saat diwawancarai kumparan.com,
Rabu (25/9). “Saya ditusuk di pinggul sebelah kanan, lalu di dada dan dagu.
Saya yakin ini kuasa Tuhan, masih diberi hidup sampai detik ini.”
Sri
selamat setelah anggota Brimob tiba di lokasi dan melepaskan tembakan. Massa
pun bubar. Namun Sri tak tahu lagi nasib sembilan orang lainnya, termasuk empat
anak-anak. Dia hanya ingat teriakan minta tolong dan tangisan anak-anak yang
diseret dan dipukul para pedemo.
Kebrutalan
kelompok bersenjata itu, tentu kita yakini tidak mewakili masyarakat Wamena.
Lihatlah, warga berupaya melindungi pendatang dari amuk massa yang tidak mereka
kenal -- sampai di kandang babi.
Nani
Susongki, wanita asal Kecamatan Tegalsiwalan, Kabupaten Probolinggo, Jawa
Timur, merasakan betul pertolongan Mama Manu, warga Wamena. Ketika kerusuhan
mulai terjadi, Mama Manu menyembunyikan Nani di honai (rumah).
"Kami
mundur pelan-pelan. Saya pikir bagian dari orang yang rusuh, ternyata mereka
menolong kami. Mereka suruh kami masuk ke rumah Mama Manu. Hampir satu jam kami
bersembunyi tak bersuara, bersama beberapa warga lain,” ujar Nani.
Hampir
satu jam disembunyikan Mama Manu -- yang tentu juga siap dengan risiko-- Nani
Susongki dan beberapa warga yang ikut berlindung, dievakuasi polisi ke Polres
Jawijaya. Setelah tiga hari di Polres, Nani bersama keluarganya memilih
mengungsi ke Jayapura, dan berencana kembali ke kampung halaman.
Ketua
Dewan Adat Papua Domi Surabut salah seorang saksi hidup salah satu kejadian
itu. Seperti dilaporkan Republika, Selasa (1/10), Domi menyaksikan deretan
rumah toko (ruko) di Jalan Transpapua dibakar. Sejumlah pendatang masih
terjebak di salah satu ruko. Mereka berteriak minta tolong.
Domi
dibantu menghadapi perusuh dan meminta mereka tidak membunuh pendatang. Dibantu
beberapa warga lokal Wamena lainnya, Domi mengevakuasi tiga pria, satu
perempuan, bayi berusia dua bulan ke Gereja Katolik Bunda Maria.
Hingga
malam tiba, kata Domi, sekitar 25 pendatang sudah di dalam gereja. Ada
pendatang, ada guru-guru, ada juga tenaga medis. Hampir 24 jam para pengungsi
berdiam di gereja tersebut. Mereka bermalam dan kemudian keesokan harinya
dijemput aparat menuju tempat pengungsian.
Kisah
yang menyentuh. Persaudaraan yang ikhlas.
Bara
Wamena telah redup. Namun, kehidupan belum pulih. Kekhawatiran masih menyebar.
Di sinilah, peran para pemimpin diperlukan, meredakan ketakutan.
Kelompok
bersenjata ini harus diakhiri. Masyarakat menanti jaminan tersebut. Ini karena,
serangan yang mereka lakukan, tidak sekali ini saja. Mereka telah melakukan
pelanggaran kemanusiaan yang luar biasa. Tidak ada tempat lagi bagi mereka.
Negara harus tegas soal ini.
Kita
berharap ini yang terakhir. Negara dengan segala kekuatan yang dimiliki harus
digunakan. Berbagai pendekatan harus dilakukan, tidak saja soal kesejahteraan
dan keadilan, tapi juga pendekatan kultural.
Hidup
dalam kedamaian adalah warisan untuk hari esok, untuk anak cucu Indonesia.
Sebagai warisan, kedamaian dimulai saat ini.
Jakarta,
2 Oktober 2019.
Pemimpin
Redaksi Republika (2003-2005); Pemimpin Umum LKBN Antara (2005-2007), Anggota
Dewan Kehormatan PWI Pusat (2018-2023).
Comments
Post a Comment