Lagi, Soal Suap dan Pungli
Lagi, Soal Suap dan Pungli
Keledai saja tidak mau terantuk dua kali, apalagi manusia, tentu tidak mau kehilangan tongkat dua kali. Tapi kenyataannya, meski sudah beberapa pejabat berhasil dijerat KPK dengan dugaan kasus suap, namun terkesan belum juga membuat efek jera, terakhir kasus pungli di salah satu jembatan timbang di Sumut yang cukup membetot perhatian khalayak.
Unik memang. Padahal gereget KPK sudah menjadi ‘trade mark’ dan tidak main-main. Rasanya belum ada yang lolos dari jeratan KPK yang sangat konprehensif itu. Namun kenapa masih ada juga yang berani bermain suap dan pungli ? Ini yang membuat kita bingung. Jangan-jangan dalam beberapa hari ini masih banyak lagi pejabat yang mengalami nasib yang sama.
Memang secara umum, menggaungnya gerakan anti pungli dan suap dewasa ini disambut dengan senang dan optimistis oleh masyarakat, namun bisa jadi yang lebih banyak justru pesimistis, skeptis, dan tidak percaya bahwa suap bisa diberantas di negeri ini.
Mereka mengatakan, mana ada bisnis tanpa suap atau komisi. Di negara mana pun praktik seperti itu banyak. Pikiran itu ada benarnya, tetapi harus diakui kondisi di negara kita sudah terlalu parah. Sudah keterlaluan. Sudah sampai pada tahap mengganggu dunia usaha dan perekonomian pada umumnya, serta mengancam moral dan integritas kita sebagai suatu bangsa.
Secara substantif dan normatif, pasti tidak ada yang tidak setuju bahwa negeri ini makin sulit menarik investasi karena banyak pungutan liar atau suap. Investor-investor yang punya kredibilitas enggan menanamkan modal (direct investment) ke Indonesia karena citranya sebagai negara paling korup di dunia.
Survei yang banyak dilakukan lembaga tranparansi internasional telah menciptakan opini di kalangan investor bahwa iklim investasi di Indonesia inefisiensi atau berbiaya tinggi (high cost) karena maraknya korupsi dan suap.
Dengan citra sebagai negara paling korup dan banyak suap itu tentu akan meghapuskan keunggulan komparatif Indonesia di mata investor asing. Citra buruk itu berdampak pada investasi langsung.
Namun, apa yang bisa dilakukan untuk mengakhiri semua ini ? Sebagian dari kita yakin, suap sudah menjadi penyakit kronis. Bahkan banyak yang menyebut sudah menjadi bagian dari budaya kita sehari-hari (budaya timur), sehingga sesungguhnya tidak akan bisa diberantas dalam waktu pendek.
Namun bila ada biaya tambahan untuk bisa lebih mudah mendapatkan sesuatu, barangkali hal ini bisa dikatakan suap. Itu pun tidak pasti. Sebab dalam kasus tertentu, seseorang yang ingin mendapatkan pelayanan yang lebih nyaman lalu mengeluarkan uang lebih banyak secara sah maka hal itu mungkin adalah wajar.
Akan tetapi yang terjadi saat ini di negeri kita secara umum kasus suap itu adalah yang mestinya tidak boleh menjadi boleh karena memberi sesuatu, atau yang mestinya bisa mendapatkan sesuatu tetapi peluang tidak banyak karena banyak pesaing lalu dia memberi sesuatu sehingga ia menjadi orang yang lebih berpeluang, atau juga yang mestinya dia memperoleh sesuatu tapi tidak dalam waktu seperti yang diinginkan (waktu lama) lalu memberikan sesuatu agar lebih cepat.
Kini timbul pertanyaan, bagaimana jika generasi muda kita juga sudah tertular dan terbiasa dengan suap? Betapa tidak, mungkin hampir semua dari kita pernah melakukannya kendati itu hal yang tampak sepele. Semua bisa lancar karena ada uang ekstra alias suap.
Bagi pengusaha, suap menjadi hal yang lumrah dan tidak lagi aneh. Setiap berhubungan dengan aparat pemerintah pasti mereka mengeluarkan uang. Tidaklah berlebihan bila ada pengusaha yang menggambarkan setiap meja ada ongkosnya.
Namun persoalannya tidak sesederhana itu apabila suap itu dilakukan untuk menutupi atau melindungi suatu kasus yang dilakukan oleh oknum-oknum yang merugikan keuangan negara dan masyarakat. Oleh sebab itu, gereget KPK yang cukup gencar mencecar kasus suap ini patut diacungi jempol dan kepada pejabat negara hendaklah menjadi ‘warning’ dan jera melakukan hal ini.
Comments
Post a Comment