Mengapa HPN 9 Februari
Mengapa HPN 9 Februari
(Tribuana Said, Penasehat PWI
Pusat 2013-2018)
Tanggal 9 Februari 1946 yang
menjadi dasar penetapan Hari Pers Nasional (HPN) melalui Keputusan Presiden no
5 tahun 1985, adalah sebuah peristiwa besar. Pihak-pihak yang tidak menyukai
HPN karena tanggal 9 Februari adalah hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
mengatakan, untuk apa memperingati hari kelahiran organisasi yang terkooptasi
di era Orde Baru, yang tidak lagi relevan karena saat ini ada puluhan
organisasi wartawan, tidak lagi sesuai dengan semangat reformasi yang dikandung
dalam Undang-Undang tentang Pers no. 40 tahun 1999.
Tidak juga sesuai karena
sebelum PWI lahir telah banyak berdiri organisasi wartawan di zaman penjajahan
seperti Perdi (Persatuan Djurnalis Indonesia). Bahkan seperti yang ditulis Leo
Sabam Batubara, ada orang seperti Tirto Adhi Surjo yang mendirikan Medan Prijaji, Dja Endar Moeda yang
mendirikan Pertja Barat sampai Pewarta Deli. Dikaitkan pula dengan
lahirnya Kantor Berita Antara oleh
Adam Malik, Soemanang, AM Sipahoetar, Pandoe Kartawigoena yang misinya
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang mungkin pantas diperingati sebagai
Hari Pers Nasional. Ada sederetan kejadian yang dapat dijadikan HPN dengan
argumen dan jalan pikiran yang masuk akal meski belum tentu pas.
Dengan logika Leo S Batubara di
atas mungkin tidak salah pula apabila ada pihak yang mempersoalkan mengapa Hari Pahlawan ditetapkan
tanggal 10 November karena ada begitu banyak pertempuran setelah kemerdekaan
Republik Indonesia yang merenggut banyak nyawa bangsa Indonesia seperti peristiwa Bandung Lautan Api atau
pembantaian puluhan ribu warga Sulawesi Selatan oleh Westerling. Mengapa pula
kita menerima 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional karena ada banyak sekali
peristiwa yang sangat relevan sebagai
peristiwa pendidikan seperti berdirinya sekolah untuk perempuan yang digagas
Ruhana Kuddus atau Dewi Sartika.
Tentang Kongres yang diikuti 180
wartawan di Surakarta sebagaimana diberitakan di Harian Merdeka terbitan 12 Februari 1946, ada beberapa hal yang membuatnya
istimewa dan patut menjadi tanggal HPN. Pertama-tama harus diingat bahwa pada
saat itu Indonesia yang sudah diproklamirkan merdeka oleh Soekarno-Hatta pada
tanggal 17 Agustus 1945, kembali diduduki Belanda dengan membonceng tentara
Sekutu yang mencopoti kekuasaan Jepang. Pemerintahan Republik Indonesia
terpaksa berpindah ke Yogyakarta dan sebagian besar wilayah republik sudah
dalam kekuasaan Belanda, termasuk Jakarta. Pergerakan orang-orang dibatasi,
khususnya lagi mereka yang dicurigai, termasuk untuk pergi ke luar Jakarta
untuk masuk ke wilayah yang dikuasai republik.
Dalam kondisi ini maka perjuangan 180
wartawan dari Sulawesi dan Kalimantan, serta daerah lain di Jawa, untuk
berkumpul bukanlah urusan mudah. Manai Sophiaan perlu waktu 35 hari untuk masuk
ke Surakarta setelah naik kapal rakyat dari Makassar dan turun di pantai utara
Jawa. Tetapi kekuatan tekad membuat akhirnya 180 orang yang hadir mengikuti
Kongres. Wartawan dari Jakarta sampai di Solo berperan sebagai guide bagi wartawan internasional yang
diizinkan meliput masuk ke Yogyakarta untuk melihat dengan mata sendiri kondisi
negara yang baru berdiri beberapa bulan, apakah betul kemerdekaan didukung
rakyat atau hanya menjadi negara boneka Jepang yang didengung-dengungkan
penjajah Belanda.
Harian Merdeka 9 Februari menulis: “Rombongan wartawan luar negeri jang datang di Djokja tg 6 Pebr
memerlukan djoega mengoendjoengi tjandi Borobudur dengan diantarkan oleh para
wartawan Indonesia. Disepanjang djalan mereka amat tertarik kepada tanaman
disawah, orang2 jang sedang bekerdja dan anak2 dipinggir djalan jang
menjeroekan pekik “merdeka” jang oleh mereka poen didjawab dengan pekik “merdeka”
djoega.
Hal kedua adalah representasi.
Walaupun disebutkan dalam berita bahwa 180 orang yang hadir dari Jawa,
Kalimantan, dan Sulawesi tetapi sebenarnya itu sudah mewakili sebagian besar
wartawan dan media top Indonesia. Ada Sumanang (Antara), Harsono Tjokroaminoto
(Al Djihad), Soemantoro (Kedaulatan Rakyat), Djawoto (Antara) yang hadir dan
akhirnya menjadi pengurus pertama PWI. Yang disebut dari Jawa itu misalnya
termasuk BM Diah (Merdeka), Sjamsudin St Ma’moer (Rakyat) yang berasal dari
Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Termasuk datang Bung Tomo (Antara). Mereka itu
merasa harus bersatu untuk ikut aktif menyatukan rakyat Indonesia yang kembali
dijajah Belanda, dibantu oleh pendudukan Inggris di berbagai daerah khususnya
di Jawa.
Media republikan menggalang
pendapat umum, menyatukan semua kelompok untuk tetap setia pada republik dan
pemimpinnya. Rakyat marah dan merencanakan demonstrasi besar untuk merayakan 6
bulan kemerdekaan pada tanggal 17 Februari 1946. Di berbagai pelosok Tanah Air terjadi gerakan
untuk menunjukkan dukungan bagi
pemerintahan Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir karena
bertepatan dengan dibahasnya Indonesia dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa
di New York. Headline Merdeka 12 Februari 1946 berjudul “Tjita—Tjita Indonesia Djangan Dihalangi Kekerasan Sendjata”—Kata
Manuilsky, mengutip pidato utusan Ukraina di PBB,
Dr Dmitri Manuilsky, yang
meminta agar PBB mengirim komisi ke Indonesia. “Tidak ada orang bisa menyangkal
bahwa tentera Inggris telah menyerang penduduk Indonesia di Djawa pada waktu
beberapa bulan yang lampau dengan mempergunakan tank-tank, kapal terbang dan
lain-lain alat militer.” Terkait dengan keadaan Indonesia ada berita berjudul “Tegak Di Belakang Presiden” sebagai
hasil Kongres Pejabatan Pos, Telegrap dan Telepon seluruh Jawa dan Madura yang
diadakan di Madiun 10, 11, dan 12 Februari. Ada berita berjudul “Gerakan Republik Indonesia Soerakarta
Menjatakan Kepertjajaan 100%” terhadap Pemerintah yang dijalankan oleh
Kabinet Sjahrir, setelah organisasi yang memiliki 75.000 itu rapat pada 9
Februari.
Dalam suasana itulah dengan itu kongres
wartawan yang diadakan di Surakarta pada 9 dan 10 Februari. Mereka menunjukkan
keberpihakan, karena yakin media punya peran besar untuk menunjukkan sikap rakyat
Indonesia, termasuk ke pihak luar yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Oleh
karena itu ditegaskan sikap wartawan ialah “Tiap
wartawan Indonesia berkewajiban bekerja bagi kepentingan Tanah Air dan Bangsa
serta selalu mengingat akan Persatuan Bangsa dan Kedaulatan Negara”. Sehingga
seperti juga unsur bangsa lainnya yang tengah berjuang mempertahankan negaranya
yang tengah dijajah lagi, wartawan peserta kongres menempatkan diri sebagai
pejuang sekaligus. Dan menyadari bahwa besarnya politik adu domba Belanda,
mengingatkan bahwa dalam bekerja mereka harus memikirkan persatuan dan kedaulatan
negara.
Poin lain hasil kongres adalah
kesadaran bahwa para wartawan Indonesia yang hadir sudah memikirkan masalah
percetakan dan penerbitan koran, sebagai alat produksi dan juga alat
perjuangan. Sebab hanya melalui media mereka bisa terus menggelorakan
perjuangan dan memberi informasi kepada masyarakat di berbagai pelosok yang
juga coba dikuasai oleh Belanda. Berdirinya PWI ini kemudian kita ketahui
diikuti dengan berdirinya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) setahun kemudian di
Yogya.
Berbagai catatan di atas menunjukkan magnitude peristiwa 9 Februari 1946 sebagai modal untuk
menetapkannya sebagai Hari Pers Nasional dibandingkan dengan peristiwa lainnya,
sebab tanggal itu bukan sekadar hari lahi PWI tetapi bersatunya wartawan seluruh
untuk menyokong Republik Indonesia berusia jabang bayi yang terancam
keberadaannya, agar dapat bertahan kukuh berdiri sebagai negara kesatuan seperti
yang kita saksikan saat ini.
***
Dalam pertemuan yang dilakukan
Dewan Pers untuk membahas Hari Pers Nasional atas usulan Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Independen (IJTI) dan dihadiri
pemangku kepentingan, April 2018 lalu, sebagian besar peserta berpendapat bahwa
sebaiknya organisasi wartawan dan pers lebih memikirkan tentang berbagai
persoalan yang melanda jurnalisme saat ini. Mulai dari merosotnya performa
media cetak dari sisi jumlah media, jumlah oplah, dan keuntungan, karena
digerus news agregator; semakin dipinggirkannya etika jurnalistik atas nama rating,
kecepatan memberitakan, dan menurunnya kualitas wartawan; semakin suburnya
media siber tidak bermutu karena begitu mudah dan murah untuk mendirikannya,
yang diikuti dengan semakin banyaknya orang mengaku wartawan yang sama sekali
tidak dibekali pelatihan ketrampilan jurnalistik apalagi pemahaman Kode Etik
Jurnalistik.
Wartawan adalah profesi intelektual yang bekerja bagi
sebesar-besarnya kepentingan publik, dalam hal ini untuk mengontrol kekuasaan,
menyampaikan informasi, mengajak mereka berpartisipasi dalam pengambil
kebijakan dengan membuka ruang diskusi dengan pembuat kebijakan. Wartawan bukan
politisi yang sibuk berpolitik, yang sibuk untuk menuding dan mencari-cari
kesalahan orang, mempersoalkan yang tidak penting, karena rasa tidak suka atau
cemburu.
Dewan Pers yang memiliki SDM dan
anggaran terbatas seharusnya dibantu
oleh konstituen agar kemerdekaan pers Indonesia dapat terpelihara sesuai dengan
semangat reformasi, apalagi saat ini tengah digerogoti pihak-pihak yang mengaku
wartawan tetapi tidak bekerja dalam koridor kode etik yang telah disepakati
bersama oleh komunitas pers. Adapula untuk mengamandenen UU Pers no 40 agar
pers kembali ke dalam rezim izin dan sensor, dengan alasan kemerdekaan pers
sudah kebablasan karena media mengungkap kebobrokan kinerja aparat eksekutif,
anggota parlemen, maupun penegak hukum lainnya.
Sebagai organisasi terbesar dengan
anggota mencapai 15.000 wartawan aktif PWI menjadi pendukung utama sertifikasi
wartawan yang digagas Dewan Pers, telah mensertifikasi 9.000 anggotanya, dari
total sekitar 13.000 sertifikat yang telah dikeluarkan Dewan Pers. PWI juga mendorong
media yang dipimpin anggotanya untuk diverifikasi agar dipercaya baik oleh
narasumber maupun mitra kerja. PWI juga
melatih lebih dari 1000 anggotanya setiap tahun agar semakin profesional,
berwawasan, dan menjunjung tinggi etika jurnalistik.****** (Sumber : Kompas)
Comments
Post a Comment